Perbatasan Dua Alam (Last)

Kami mulai memasuki pemakaman dengan ucapan salam yang sama pada perjalanan sebelumnya. Pemakaman ini lebih ramai pengunjung dengan beragam usia mulai dari anak kecil hingga lanjut usia. Saya berjalan di belakang rombongan sambil menoleh kanan kiri menyimak segala aktivitas dan deretan kuburan yang beraneka ragam bentuk dan warnanya. 

Senyumku sedikit mengembang jika melihat nama yang terukir pada batu nisan sedikit berbeda dari nama pada umumnya seperti Isahi, La Mekka. Lirikan mataku terhenti pada kuburan yang di permukaannya terdapat beberapa potong bunga, juga uang recehan. Ini makam anak kecil ditandai dengan batu nisan yang kecil. 

Di samping kuburan itu tak kalah unik lagi, selain bungan dan uang koib, ada juga beberapa bungkus permen berwarna pink. Seketika saya mengembangkan senyum karena teringat kisah sewaktu kecil saya dan kakakku sering mengambil uang dan permennya hehe, kami selalu dapat marah dari orang tua kalau kedapatan. Padahal mereka tidak tahu kalau tujuan utama kami ikut ziarah kubur adalah untuk mengumpulkan koin dan makan permen gratis. 

Sebab itulah kami tak lupa membawa kantong plastik ketika ziarah kubur. Tiba-tiba senyumku yang tadi berhasil dicuri oleh sebuah kuburan yang dilapisi tegel berwarna jingga. Pinggiran kuburan itu terdiri dari tiga anak tangga kecil sehingga terlihat lebih tinggi dari kuburan yang lain. Uniknya, kuburan tersebut semakin indah dengan pagar besi yang mengelilinginya. Hei, bukan pagar besi biasa loh tapi pagar besi yang menyamai pagar kerajaan, berkelok-kelok membentuk bunga. 

Di salah satu sisi kuburan terdapat pintu yang saat itu kebetulan terbuka. Saya melihat dua anak kecil duduk di anak tangga kedua sambil berfoto ria dengan senyum yang mengembang. Entahlah, apa yang salah dari pemandangan yang kulihat. Saya tak ingin menyalahkan siapapun kecuali diri sendiri. Merasa belum berhasil menyebar ilmu di lingkungan sekitar. Saya pun berlalu dengan kepala tertunduk menyembunyikan rasa malu dalam diriku. Langkahku terhenti di ujung pemakaman itu karena kuburan kakek buyutku terletak paling pojok.  Kami mengulang tradisi seperti yang dilakukan pada kuburan sebelumnya. Tapi perasaan saya sudah tidak nyaman karena pemandangan yang tadi membuat konsentrasi saya buyar ketika kakekku bercerita tentang ayahnya –kakek buyutku.

Tak lama kemudian kami beranjak pulang ke rumah. Semilir angin di pegunungan itu membuat perjalanan pulang kami tak terasa begitu jauh sepeti tadi. Peluh dan lelah sudah terbayarkan dengan pemandangan yang sungguh indah. Setelah keluar dari area pegunungan, kami singgah di salah satu rumah keluarga. Lumayanlah, kami bisa mencuci tangan dan melepas dahaga. Kami mulai bercerita tentang pemakaman yang terlihat lebih bersih daripada sebelumnya. Makanan khas bugis berbentuk bulat yang dibuat dengan cara difermentasi menemani kami bercerita. Banyak kisah yang dapat dijadikan pelajaran dari perjalanan kami, semoga semuanya menjadi lebih baik.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.