Perbatasan Dua Alam (III)

Alhamdulillah sepertinya saya sangat sayang sama ibu karena melaksanakan yang sudah kuberitahukan kepadanya. Ibu duduk meghadap kiblat di sela-sela kuburan dan mulai mengangkat tangan untuk berdoa. Saya pun melakukan hal yang sama. Setelah itu, kami duduk sebentar sambil bercerita tentang nenek buyut ku itu. Seperti tujuan awal, ibu menjelaskan bahwa ini adalah ibu dari ibunya, dia tinggal di pegunungan sejak zaman penjajahan. 

Cerita kami seketika dihentikan oleh kedatangan kakekku yang juga punya tujuan yang sama dengan kami. Setelah melakukan tradisi seperti tadi, kakekku lebih hebat menjelaskan tentang nenek buyutku ini. Nenek buyutku ternyata tidak makan daging dan ayam tapi tidak juga herbivora sepenuhnya karena dia tetap makan ikan dan udang. Mereka kemudian tertawa karena ada salah seorang dari cucunya yang seperti itu.

Kami melanjutkan perjalanan dengan menempuh jalan yang lebih terjal lagi untuk berziarah ke kuburan selanjutnya. Perjalanannya lebih sulit karena lebih terdapat banyak rerumputan berduri yang mudah melekat di pakaian.

“Ra, jangan jalan terlalu di pinggir! banyak jeppa-jeppa, nanti gatal” Tegur tanteku sambil menunjuk ke arah rerumputan.

“Hehe pantas kakiku gatal-gatal”

Jeppa-jeppa mungkin masih bersaudara dengan rumput teki karena memiliki daun yang sama, hanya lebih panjang sedikit. Rumput ini memiliki bunga berbentuk bulat dan melengket di pakaian. Kalau sudah terkena kulit akan terasa gatal padahal saya memakai rok yang dilapis celana panjang di dalamnya lengkap dengan kaos kaki. Hmm sungguh keterlaluan jeppa-jeppa ini. saya kemudian berjalan ke arah tengah mendekati sepupuku. 

Sore hari itu matahari masih bersinar terang menerpa kami yang sedang berjalan di atas dataran tinggi, sedikit silau dan menyengat memang. Saya memetik daun lebar yang banyak tumbuh di sekitar jalan. Kalau kata Bandura, Miller dan Dollar, hal tersebut adalah hasil dari modelling perilaku kakakku heheh karena saya memetik setelah melihat apa yang dilakukan olehnya. 

Kugunakan daun itu untuk melindungi ibu dari sengatan matahari. Tak cukup tanganku untuk melindungi diri sendiri. Kini sudah lengkap perjuangan kami dengan peluh dan kaki pegal karena mendaki ditambah sengatan matahari yang seakan sudah ingin berpamitan pulang ke ufuk. Rabbi, perjalanan yang belum seberapa ini sudah cukup memberi peringatan melalui peluh yang membasahi jidat, melalui pegal yang menyusup ke betis dan melalui sengatan matahari. Tak mungkin bisa kami bandingkan dengan api neraka yang panasnya beratus lipat ganda sampai apinya pun berwarna putih. Tapi selalu saja Tuhan yang Maha Adil menciptakan semesta dengan seimbang menurut ukurannya. 

Semua peluh berangsur menguap diterpa semilir angin pengunungan yang sepoi-sepoi menenangkan bahwa tujuan kami sudah dekat. Hamparan langit biru yang seakan bercengrama bersama pepohonan di gunung seberang melengkapkan keindahan. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?. Di tengah suguhan pemandangan yang indah, terlihatlah susunan batu nisan yang beraneka ragam warnanya. Dari kejauhan terlihat seperti anak tangga yang hendak mencapai langit namun terhalang oleh perbedaan ukuran, atau mungkin seperti sekelompok semut yang berbaris-baris.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.