Perbatasan Dua Alam (II)

Maklumlah, tiga orang dari kami adalah orang yang sudah berusia 60 tahun, bahkan nenek saya yang merupakan tante ibuku sudah tidak tahu berumur berapa, sehingga dia harus dibonceng motor. Kebetulan saja kita ketemu dengan keluarga yang mengendarai motor tanpa boncengan jadilah nenek menumpang dikendaraannya. 

Sekarang jalanan di sini tidak terlalu buruk, sehiingga motor dan mobil masih bisa melintas. Tidak seperti beberapa tahun lalu, hanya kendaraan tertentu dan supir bernyali besar yang bisa melintasi jalanan tersebut. Sepertinya ada yang merasa sudah mulai lelah berjalan di pegunungan yang terjal ini. Mereka mungkin saja sudah terpengaruh karena melihat nenek tadi mendapatkan tumpangan kendaraan. 

Mulailah saya mendengar banyak suara yang mengandung keluhan. Salah satunya keluar dari mulut ibu. Sebagai anak yang mengaku berbakti harus mencari solusi agar ibu –setidaknya tidak terlalu kelelahan. Saya melirik ke kanan dan mendapati tumpukan ranting pohon yang sepertinya bisa menjadi tongkat sebagai tumpuan. Langsung saja saya ambil salah satu dari ranting itu dan membersihkan sedikit dari daun yang masih bergantung di sekitar ranting dan pasir yang menyelimutinya.

“Ini bu. pakai saja sebagai tongkat, mungkin bisa membantu ibu melewati jalanan terjal” kataku sambil menyodorkan di depannya.

“haha kita sudah seperti Mak Lampir kalau pakai tongkat” jawabnya sambil menerima tongkat dari tanganku.

“haha daripada capek”.

Kakak sepupuku yang sudah kuanggap seperti kakak sendiri juga mulai mengambil ranting pohon dan melakukan seperti yang kulakukan. “Hadduuhh, masih muda kak” kataku sambil berteriak dengan nada yang sedikit mengejek mungkin.

Tak lama kemudian kita sampai di kuburan milik ibu dari nenekku –nenek buyutku. Nenekku sudah jelas sampai lebih duul. Dia sudah menunggu di dekat kuburan tersebut sambil memegang pinggangnya, hehe mungkin encok sedikit karena jalanan bebatuan yang dilintasi. Nah, mulailah tradisi ziarah kubur dilakukan dengan pertama kali mereka berjongkok di pinggir kubur dan membersihkan dari dedaunan. 

Ternyata sudah ada yang mendahului kami berziarah ke kuburan nenek itu karena sudah ada bunga-bunga segar di permukaannya. Nenek, tante dan kakak sudah ribut bercerita dan menebak-nebak siapa yang telah lebih dahulu datang ke kubur itu. Nenekku mulai berdoa sambil mengangkat tangan di depan kuburan. Yah, dalam hati hanya berbisik sedih karena sudah ku beritahukan bahwa tidak boleh berdoa menghadap kubur. Selesai mengangkat tangan dan mengusap wajah, nenek menyiram kuburan sebanyak tiga kali dan menabur bunga di atasnya. Apa yang dilakukannya diikuti oleh kedua tante dan kakakku.

 (To Be Continue)

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.