Sociophrenia

Istilah sociophrenia pertama kali diperkenalkan oleh psikolog Universitas Indonesia, Sarlito Wirawan Sarwono yang diambil dari nama salah satu penyakit psikologis yang disebut skizofrenia. Dimana skizo berarti jiwa dan phrenia berarti terbelah. Sedangkan Istilah tersebut ia pakai untuk menyebutkan mereka yang sering memiliki masalah pada hubungan sosialnya.

Salah satu yang dicontohkan dalam bukunya yang berjudul “sociophrenia” adalah pemilihan gubernur di papua yang sudah makan korban yaitu juru kampanye yang tewas dikeroyok oleh massa yang tidak senang. Namun peristiwa tersebut adalah masalah sosial yang sangat kompleks. Dari penalaran itu, orang-orang sociophrenia yang masih berstatus ringan sering kita jumpai bahkan mungkin diri kita.

Terjadinya sociophrenia dapat disebabkan oleh modernisasi zaman yang serba berteknologi. Pergeseran kehidupan banyak orang ke dunia maya bisa jadi mengakibatkan dunia nyata ini menjadi sepi -bahkan mungkin akan kosong. Pemandangan yang sudah lazim kita jumpai ketika di tempat umum, orang-orang sibuk dengan gadget-nya masing-masing. Walaupun mungkin masih ada orang yang berinteraksi dengan orang yan berada di sampingnya. Tapi itu hanya segelintir.

Hal yang paling memilukan karena kita hidup dalam budaya timur yang terkenal dengan rasa sosial yang begitu kental. Bahkan para turis yang datang ke Indonesia tak jarang memuji keramahan yang didapatkannya dari warga Indonesia. Tetapi kenyataan yang kita hadapi saat ini, banyaknya orang timur yang mulai mengadopsi budaya barat yang individualis.

Bukannya menyalahkan gadget dan media sosial sebagai dalang berkiprahnya individualisasi di Indonesia, tetapi yang kita perlu pahami adalah bagaimana kita mengendalikan gadget tersebut. Tentu perkembangan teknologi tak bisa dihalau dengan apapun. Terlebih lagi dengan melihat semakin digemarinya media sosial oleh berbagai kalangan masyarakat Indonesia. 

Aktivitas berselancar di media sosial ini justru akan memberikan dampak buruk alih-alih mengontrol diri. Orangorang bahkan rela mengorbankan waktu bermain dengan anak atau dampak buruh. Oleh karena itu, harus ada antisipasi yang cepat sebelum sociophrenia kian menjangkiti masyarakat Indonesia dan menghilangkan budaya yang kita banggakan yaitu rasa sosial yang tinggi. 

 

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.