Ku tunggu di garis finish.



Sumber gambar: www.lomba.or.id

 
Sambil menatap layar kaca mata ini tak terasa berubah menjadi aliran sungai yang tak bermuara. Salah satu siaran yang menampilkan bocah cilik dengan kefasihannya dalam melantunkan ayat suci, menjadikan hati gemetar. Ucap syukur yang begitu dalam ketika diizinkan menjadi saksi bahwa kalam Allah masih terjaga dengan aman dalam dada kaum muslim, muslim cilik. Tak sekadar menghafal Al-qur’an tetapi juga dengan asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) dan hukum tajwid. Malu rasanya, melihat mereka yang memiliki tinggi badan setengah dari kita mampu menghafal Al-qur’an dengan fasih. Bandingkan dengan kita yang hanya menghafal beberapa potong surah saja. Itupun surah pendek kelas anak TK dan masih terbata-bata dengan tajwid yang berantakan.

Singkat memang, tayangan yang hanya berdurasi kurang lebih satu jam dibuka dengan ucapan salam dari pembawa acara kemudian menampilkan setiap peserta hafiz dengan tantangan dari dua orang ustadz untuk menambung ayat, menyebutkan nama surah dan ayatnya, menjelaskan asbabun nuzul, dan menjawab pertanyaan tentang tajwid. Setelah itu tiga dewan juri memberikan komentar serta koreksi dari penampilan setiap peserta. Dan seperti pada acara kontes pada umumnya, di penghunjung acara akan diumumkan mereka yang akan melanjutkan perjalanannya di episode berikut. Bagian ini yang paling berwarna, punya berbagai rasa karena yang lanjut pada episode berikut merasa bahagia tapi juga sedih kehilangan teman, yang tidak lanjut tentunya merasa sedih, ada kekecewaan di hati, tapi tak dipungkiri merasa bahagia melihat teman yang lain dapat melanjutkan ke episode berikut. Ternyata bukan sekadar kemenangan yang dicari oleh mereka, bukan sekadar hadiah dari sponsor yang diincar. Tidak melanjutkan ke episode berikut bukan berarti kalah. Fawwaz, salah satu peserta yang tidak lanjut mengatakan dengan terseduh-seduh sambil mengusap air mata bahwa walupun tidak lanjut tetapi Allah lihat perjuangan saya, ini untuk Allah. Sedangkan Aidah yang begitu tegar menerima takdir Allah dengan  bergeming tanpa air mata. Ayahnya berkata, jika memang bukan di tempat ini Aidah menang, akan ada di tempat lain, Masyaa Allah.

Sejatinya, merekalah pemenang yang mendahului kita dalam menghafal Al-qur’an, mengurangi waktu bermain demi menjaga kalam Allah. Sungguh, kalianlah pemenangnya dik, kami masih di belakang bahkan baru saja hendak memasuki pertandingan ini jauh di belakang garis start. Bocah itu seakan memanggil dengan suara lucu dan wajah lugu untuk ikut meramaikan pertandingan ini, yah katanya ini pertandingan yang sangat seru karena merebut piala mulia. Namun tak sadar ternyata mereka juga seakan menampar, sakit sekali. Mereka mengoceh dan menyuruh kita menghafal buku pedoman. Katanya, bagaimana mungkin kita hidup tanpa menghafal buku panduan. Oleh karena itu jangan heran jika masih saja kita kebingungan dalam menjalani hidup ini. Layaknya membeli alat elektronik baru, maka kita harus membaca dan menghafal buku petunjuk penggunaannya. Jika tidak, maka tunggulah kerusakan.

Katanya, kita masih punya kesempatan untuk memulai dari garis start. Bocah itu menawarkan kepada kita pekerjaan yang paling mulia dengan gaji berlipat ganda. Siapa yang tak menginginkan istana yang tak terbayang keindahannya, mahkota untuk kedua orang tua, dan hadiah lain yang akan didapat jika bekerja seperti mereka. Sederhana pekerjaannya, hanya menjadi body guard untuk deretan ayat-ayat Allah. Apalagi yang membuat kita menolak tawaran pekerjaan ini, mulailah, ikuti pertandingannya. Katanya, ku tunggu di garis finish.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.