Habis Gelap Terang Sepanjang Masa
Saya
duduk di salah satu bangku yang berhadapan dengan taman penuh tumbuhan yang
indah dan menyejukkan. Saya memutuskan untuk menunggu ibu yang menyelesaikan
pekerjaannya sebagai pengajar di salah satu SMA negeri di Makassar. Katanya dia
pulang tidak lama karena hari ini masih berlangsung orientasi siswa baru,
sehingga proses belajar mengajar belum aktif. Toh, membosankan juga tinggal di
rumah dengan rutinitas yang datar saja, membersihkan, cuci piring, masak,
makan, cuci piring lagi, tidur, dan tidur lagi. Saya duduk ditemani dengan buku
bacaan berisi tulisan seorang wanita yang memperjuangkan haknya, sehingga kini,
saya dan wanita lain bisa merasakan duduk di bangku sekolah. Raden Ajeng
Kartini menulis buku berjudul habis gelap terbitlah terang yang berisi kisah
dari perjuangannya untuk menjadikan kaum wanita Bumiputera (panggilan Belanda
pada bangsa Indonesia) berpendidikan dan terhindar dari kebodohan.
Di tengah
keasyikan membaca dan terpaan angin yang sepoi, mata saya tertuju pada seorang
ibu paruh baya dengan pakaian yang sebenarnya lumayan bagus, mungkin karena
dandanan berbalut kelelahan hingga merusak penampilannya. Dia memakai baju
terusan berwarna merah muda dengan kombinasi hiasan berwarna ungu di bagian
bawah baju. Ibu itu mengenakan kerudung berwarna merah muda yang lebih lembut
dari warna bajunya, hehe mungkin kalau di jualan online disebut pink baby.
Kerudungnya dibentuk segitiga dan hanya diletakkan di atas kepala tanpa pentul
yang menutup lehernya sehingga rambut bagian depannya tetap terlihat. Kelelahan
sangat jelas tertampak di wajahnya yang mulai keriput. Dengan menoleh ke kanan
dan kiri sambil menenteng tas ransel berwarna hitam di tangan kirinya dan
mengepit sebuah dompet di sebelah kanan, dia berjalan ke arah saya. Setelah
jarak yang kurang lebih setengah meter saya mulai percakapan.
“Cari
siapa bu?” Dalam hati, saya menegur diri saya sendiri, ahh ini pertanyaan sok
tahu.
“Oh,
cari anak saya, ini saya sudah keliling tapi tidak ketemu. Kata temannya dia
ada di kantin tapi saya dari kantin tidak juga ketemu” Penjelasannya diawali
dengan senyum yang ramah.
“Oh,
duduk saja dulu di sini bu” Saya mempersilakan sambil bergeser dari tempat
duduk semula untuk memberikannya tempat.
“Iya,
terima kasih nak” katanya sambil duduk di samping saya dan lagi-lagi
menyunggingkan senyum dan saya juga membalasnya dengan senyuman.
Saya
pun menanyakan tentang keadaan dirinya dan tujuan datang ke sekolah ini. Saya
masih penasaran dengan anak yang tega membiarkan ibunya menenteng tas
ranselnya. Belakangan saya mengetahui bahwa anaknya adalah pindahan dari
sekolah lain. Ibu ini cukup terbuka dan nyambung diajak cerita. Di tengah
perbincangan kami, seorang anak laki-laki jalan bersama temannya. Belum sampai
satu meter dari tempat duduk kami, ibu itu bergegas menghampiri anaknya.
Celoteh yang bernada khawatir mulai dikeluarkan dan hanya dijawab singkat oleh
anaknya. Bahkan ketika pertemuan itu terjadi, tas ransel masih ada di tangan
kiri ibu itu. Hmm untuk menjaga dari buruk sangka, saya memperkirakan saja,
mungkin anak itu tidak memperhatikan atau lupa. Ibu itu meminta izin untuk
pergi ke kantor sekolah ketika melintas di hadapanku.
Saya
berpaling dari buku Kartini lalu berpikir dan berdo’a dalam hati. “Rabbanaa hab’lanaa min azwaajinaa wa dzurriyyaatinaa
qurrota a’yuniwwaj’alna lil muttaqiina imaamaa”. Semoga dianugerahkan
pasangan dan keturunan yang menjadi penyejuk hati dan menjadi imam bagi orang
bertakwa (QS. Al-Furqon:74). Saya berusaha mencari keterikatan dan memadukan
makna antara tulisan Kartini, cerita ibu dan anaknya dan segala permasalahan di
negeri ini yang tak kunjung usai. Sambil menopang dagu, saya mempertanyakan
peran seorang perempuan sekaligus ibu. Mungkin itulah pekerjaan terberat
daripada menjadi seorang dokter bedah. Bagaimana tidak, jika dokter bedah salah
operasi mungkin yang paling fatal adalah kehilangan nyawa, atau kecacatan. Tapi
jika seorang ibu salah mengasuh, yang terjadi adalah kehancuran negara,
kemunduran umat manusia yang bisa jadi merenggut banyak nyawa, menyebabkan
banyak kecacatan fisik dan mental. Saya selalu berpikir bahwa munculnya
berbagai kasus di Indonesia tak lain disebabkan oleh salah asuh seorang orang
tua dan lingkungan. Ibu yang tadi berbagi cerita bahwa anaknya pindah sekolah
karena tinggal kelas di sekolah sebelumnya. Dia dengan kelapangan dada
memberikan pengakuan bernada penesalan bahwa karena tuntutan ekonomi, sehingga
ia harus menggadaikan perhatian terhadap anak-anaknya dengan bekerja.
Banyak
kaum yang salah paham bahwa islam sangat terbelakang dengan melarang seorang
wanita keluar rumah termasuk menuntut ilmu. Hey, menuntut ilmu wajib lohh bagi
setiap insan yang mengaku muslim. Menuntut ilmu syar’i adalah wajib dan
menuntut ilmu selainnya dihukumi mubah. Kesalahpahaman juga terjadi terhadap
perjuangan Kartini untuk kemajuan kaum wanita. Emansipasi sering bergeser
menjadi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam hal apapun. Dalam
bukunya di halaman 14, Kartini bertutur bahwa yang diperjuangkannya adalah kaum
wanita dapat bersekolah dan berpengetahuan agar dapat mendidik anak dan
mengurus rumah tangga dengan baik dan benar, sehingga menjadikan negeri kita
negara yang maju dengan anak-anak yang cerdas. Nah, jika banyak perempuan yang
eksis atas nama emansipasi yang salah kaprah, maka dia telah menggadaikan masa
depan anaknya. Saya pun tidak sepenuhnya berpaham bahwa perempuan tidak boleh
bekerja di luar rumah, tetapi jangan jadi ibu yang palsu karena ibu yang palsu
akan melahirkan anak-anak yang berani membuat vaksin palsu, kartu bpjs palsu
dan nantinya mendirikan negara yang palsu. Jika ibu kita Kartini percaya bahwa habis gelap terbitlah terang, maka saya lebih percaya bahwa habis gelap akan terang sepanjang masa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar