Habis Gelap Terang Sepanjang Masa

jessezhou-Uvaz8IGJ_7w-unsplash

Saya duduk di salah satu bangku yang berhadapan dengan taman penuh tumbuhan yang indah dan menyejukkan. Saya memutuskan untuk menunggu ibu yang menyelesaikan pekerjaannya sebagai pengajar di salah satu SMA negeri di Makassar. Katanya dia pulang tidak lama karena hari ini masih berlangsung orientasi siswa baru, sehingga proses belajar mengajar belum aktif. Toh, membosankan juga tinggal di rumah dengan rutinitas yang datar saja, membersihkan, cuci piring, masak, makan, cuci piring lagi, tidur, dan tidur lagi. Saya duduk ditemani dengan buku bacaan berisi tulisan seorang wanita yang memperjuangkan haknya, sehingga kini, saya dan wanita lain bisa merasakan duduk di bangku sekolah. Raden Ajeng Kartini menulis buku berjudul habis gelap terbitlah terang yang berisi kisah dari perjuangannya untuk menjadikan kaum wanita Bumiputera (panggilan Belanda pada bangsa Indonesia) berpendidikan dan terhindar dari kebodohan. 

Di tengah keasyikan membaca dan terpaan angin yang sepoi, mata saya tertuju pada seorang ibu paruh baya dengan pakaian yang sebenarnya lumayan bagus, mungkin karena dandanan berbalut kelelahan hingga merusak penampilannya. Dia memakai baju terusan berwarna merah muda dengan kombinasi hiasan berwarna ungu di bagian bawah baju. Ibu itu mengenakan kerudung berwarna merah muda yang lebih lembut dari warna bajunya, hehe mungkin kalau di jualan online disebut pink baby. Kerudungnya dibentuk segitiga dan hanya diletakkan di atas kepala tanpa pentul yang menutup lehernya sehingga rambut bagian depannya tetap terlihat. Kelelahan sangat jelas tertampak di wajahnya yang mulai keriput. Dengan menoleh ke kanan dan kiri sambil menenteng tas ransel berwarna hitam di tangan kirinya dan mengepit sebuah dompet di sebelah kanan, dia berjalan ke arah saya. Setelah jarak yang kurang lebih setengah meter saya mulai percakapan.
“Cari siapa bu?” Dalam hati, saya menegur diri saya sendiri, ahh ini pertanyaan sok tahu.
“Oh, cari anak saya, ini saya sudah keliling tapi tidak ketemu. Kata temannya dia ada di kantin tapi saya dari kantin tidak juga ketemu” Penjelasannya diawali dengan senyum yang ramah.
“Oh, duduk saja dulu di sini bu” Saya mempersilakan sambil bergeser dari tempat duduk semula untuk memberikannya tempat.
“Iya, terima kasih nak” katanya sambil duduk di samping saya dan lagi-lagi menyunggingkan senyum dan saya juga membalasnya dengan senyuman.
Saya pun menanyakan tentang keadaan dirinya dan tujuan datang ke sekolah ini. Saya masih penasaran dengan anak yang tega membiarkan ibunya menenteng tas ranselnya. Belakangan saya mengetahui bahwa anaknya adalah pindahan dari sekolah lain. Ibu ini cukup terbuka dan nyambung diajak cerita. Di tengah perbincangan kami, seorang anak laki-laki jalan bersama temannya. Belum sampai satu meter dari tempat duduk kami, ibu itu bergegas menghampiri anaknya. Celoteh yang bernada khawatir mulai dikeluarkan dan hanya dijawab singkat oleh anaknya. Bahkan ketika pertemuan itu terjadi, tas ransel masih ada di tangan kiri ibu itu. Hmm untuk menjaga dari buruk sangka, saya memperkirakan saja, mungkin anak itu tidak memperhatikan atau lupa. Ibu itu meminta izin untuk pergi ke kantor sekolah ketika melintas di hadapanku.

Saya berpaling dari buku Kartini lalu berpikir dan berdo’a dalam hati. “Rabbanaa hab’lanaa min azwaajinaa wa dzurriyyaatinaa qurrota a’yuniwwaj’alna lil muttaqiina imaamaa”. Semoga dianugerahkan pasangan dan keturunan yang menjadi penyejuk hati dan menjadi imam bagi orang bertakwa (QS. Al-Furqon:74). Saya berusaha mencari keterikatan dan memadukan makna antara tulisan Kartini, cerita ibu dan anaknya dan segala permasalahan di negeri ini yang tak kunjung usai. Sambil menopang dagu, saya mempertanyakan peran seorang perempuan sekaligus ibu. Mungkin itulah pekerjaan terberat daripada menjadi seorang dokter bedah. Bagaimana tidak, jika dokter bedah salah operasi mungkin yang paling fatal adalah kehilangan nyawa, atau kecacatan. Tapi jika seorang ibu salah mengasuh, yang terjadi adalah kehancuran negara, kemunduran umat manusia yang bisa jadi merenggut banyak nyawa, menyebabkan banyak kecacatan fisik dan mental. Saya selalu berpikir bahwa munculnya berbagai kasus di Indonesia tak lain disebabkan oleh salah asuh seorang orang tua dan lingkungan. Ibu yang tadi berbagi cerita bahwa anaknya pindah sekolah karena tinggal kelas di sekolah sebelumnya. Dia dengan kelapangan dada memberikan pengakuan bernada penesalan bahwa karena tuntutan ekonomi, sehingga ia harus menggadaikan perhatian terhadap anak-anaknya dengan bekerja.

Banyak kaum yang salah paham bahwa islam sangat terbelakang dengan melarang seorang wanita keluar rumah termasuk menuntut ilmu. Hey, menuntut ilmu wajib lohh bagi setiap insan yang mengaku muslim. Menuntut ilmu syar’i adalah wajib dan menuntut ilmu selainnya dihukumi mubah. Kesalahpahaman juga terjadi terhadap perjuangan Kartini untuk kemajuan kaum wanita. Emansipasi sering bergeser menjadi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam hal apapun. Dalam bukunya di halaman 14, Kartini bertutur bahwa yang diperjuangkannya adalah kaum wanita dapat bersekolah dan berpengetahuan agar dapat mendidik anak dan mengurus rumah tangga dengan baik dan benar, sehingga menjadikan negeri kita negara yang maju dengan anak-anak yang cerdas. Nah, jika banyak perempuan yang eksis atas nama emansipasi yang salah kaprah, maka dia telah menggadaikan masa depan anaknya. Saya pun tidak sepenuhnya berpaham bahwa perempuan tidak boleh bekerja di luar rumah, tetapi jangan jadi ibu yang palsu karena ibu yang palsu akan melahirkan anak-anak yang berani membuat vaksin palsu, kartu bpjs palsu dan nantinya mendirikan negara yang palsu. Jika ibu kita Kartini percaya bahwa habis gelap terbitlah terang, maka saya lebih percaya bahwa habis gelap akan terang sepanjang masa.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.