Membaca Surat



 
(Sumber gambar : imredlover.blogspot.com)
 
Seperti yang saya tuliskan sebelumnya (dalam Surat yang Terabaikan), bahwa setiap peristiwa yang terjadi adalah surat-surat yang dikirimkan Allah kepada kita. Dan terdapat beberapa surat yang telah diselipkan Allah yang hanya dapat dibaca oleh orang-orang yang selalu mengingat-Nya. Kuputuskan untuk rehat sejenak dan mencari-cari surat yang terselip di setiap peristiwa yang telah kulalui hari ini. Mungkin dengannya saya dapat merenung dan memaknai hari dimana usia saya bertambah namun kesempatan untuk hidup di dunia ini berkurang.

Surat pertama kudapatkan terselip pada malam yang dimuliakan. Ketika itu, alarm hp saya berhasil membuka mataku. Namun, saya hanya membuka mata tanpa doa dan mematikan alarm itu. Dalam hati bergumam “ah, masih jam 3, tunggu setengah 4 deh”. Saya pun hanya memperbaiki posisi tidur. Alarm itu berdering kembali, jeda 30 menit untuk tidur tadi hanya terasa 5 menit. Dan kuulangi kesalahan yang kubuat setengah jam lalu. Ahh, rasanya menyesal melakukan itu setiap alarm berbunyi hingga adzan shubuh berkumandang dan saya tak mendapat kesempatan qiyamullail. Bahkan untuk witir pun tak ada. Yah, penyesalan memang selalu datang belakangan. Aku hanya bisa belajar bahwa ‘menunda’ itu merupakan gerbang ‘penyesalan’ yang menyesakkan.

Surat itu bagai tamparan bagiku. Hal itu menjadikan pagi ini penuh ‘renungan’, atau yang lebih tepat penuh ‘kemurungan’. Alhasil, saya kuliah dengan wajah yang dihiasi ‘keduanya’. Saya menemukan surat lain dan mengajarkan bahwa kita harus mengutamakan ilmu agama daripada ilmu dunia. Bagaimana tidak, Allah menegurku ketika kuputuskan untuk lebih memilih berkuliah daripada mengikuti musyawarah (organisasi saya: IPMI) dan tahsinul qira’ah (Belajar bacaan al-qur’an). Setelah beberapa jam menunggu, dosen saya masih saja belum masuk. Saya pun berniat pulang dan berharap, teman-teman masih musyawarah dan saya masih mendapatkan setidaknya pahala bermajelis. Sayang, belum selesai teguran itu ku maknai lamat-lamat, Allah menegurku kembali. Motor yang kupakai ke kampus, tidak ada di tempat yang tadi pagi terakhir kali kuparkirkan. Rasanya, mata ini penuh bulir, kepala penuh pelu. Untungnya, mulut ini mampu kutahan untuk mengucap keluh. “Ya Allah, dosa ku mungkin setinggi gunung uhud”. Saya pun menelfon Bapak. Yah, itulah yang selalu kulakukan ketika mendapat masalah berat. Selalu saja melibatkan orang tua utamanya Bapak. Terdengar suara bijak dari balik hp ku. Sudah, jangan panik. Lapor ke satpam. Nanti Bapak ke sana. Hmmm.... saya memang selalu panik jika terjadi masalah seperti ini. Tak kuhiraukan lagi pelajaran bahwa berpikir logis tak akan mampu dilakukan otak ketika dibajak oleh emosional. Setidaknya, saya mendapat beberapa hal yang patut untuk dibenahi dari diriku.
Sebenarnya masih banyak lagi surat yang kudapatkan. Tetapi itu hanya untuk diriku saja. Saya hanya berharap kalian -pembaca- mendapatkan pelajaran dari tulisan yang sederhana ini.

Dari semua peristiwa itu, saya sangat bersyukur karena masih ada teman-teman yang mendampingi di saat-saat yang memilukan itu. Allah masih memerhatikanku hingga saya masih mampu mengambil hikmah dibalik setiap takdirnya. Dan terakhir dan tiada akhirnya, saya sangat beruntung memiliki orang tua yang sangat pengertian. Semoga, esok hari yang kita milki, akan menjadi lebih baik dari hari ini.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.